Refleksi Kepemimpinan di Abdya

Aceh memasuki babak baru. Setelah puluhan tahun bergelut dengan konflik, kini Aceh telah damai. Sejarah mencatat konflik horizontal yang terjadi di Aceh telah memporak-porandakan berbagai sendi kehidupan. Kesejahteraan pergi menjauh, ketenangan terusik, keamanan tidak stabil, budaya ke-Aceh-an perlahan luntur, ekonomi masyarakat tak berkembang, petani semakin terpinggirkan. Tak jarang warga sipil yang tak bersalah menjadi korban, terlepas siapa pelakunya. Yang lebih parah pendidikan pun ikut menjadi tumbal ekses dari pertikaian. Sekolah dibakar, guru-guru dizalimi. Seolah-olah anak Aceh diharamkan menanam pohon harapan layaknya anak-anak lain di negeri ini. Padahal merekalah yang akan memegang estafet negeri ‘Seuramoe Mekkah’. Dapat kita bayangkan bila generasi muda terabaikan, nasib bangsa ‘endatu’ 20 tahun kedepan.

Tidak terasa usia Aceh Barat Daya 8 tahun sudah, komplet sudah permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh Barat Daya, begitu juga dengan kepemimpinan Baru yang defenitif yang terpilih melalui Pilkada putaran II 2007 yang terpilih Akmal Ibrahim, SH (Bupati Abdya) Ir. Syamsurizal, M.Si (Wakil Bupati Abdya).

Dengan disahkannya UU No.4 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Tamiang Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka secara resmi Kabupaten ini berdiri.

Aceh Barat Daya sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan dan bukanlah merupakan ekses dari reformasi pada tahun 1998 semata. Meskipun perubahan pemerintahan nasional saat itu mempercepat pemekaran tersebut, namun wacana untuk pemekaran itu sendiri sudah berkembang sejak sekitar tahun 1960-an.

Pernahkah Anda tahu berapa jumlah anggaran yang dikelola oleh pemerintah? Biarpun pertanyaan ini diajukan kepada masyarakat, jawaban yang serupa dengan lontaran diatas, bisa jadi akan kita temui. Ini menunjukkan bahwa yang namanya keterbukaan dan transparansi anggaran, masih menjadi sesuatu yang sulit ditemukan. Hal yang sama juga terjadi di Aceh Barat Daya.

Memasuki tahun ketiga, dibawah kepemimpinan Akmal Ibrahim, SH sebagai Bupati dan Ir. Syamsurizal, M.Si Wakil Bupati, dilantik oleh gubernur Aceh Drh. Irwandi Yusuf. Keduanya menggantikan Pejabat Bupati Drs. H. Azwar Umri, yang menggantikan Drs. H. T. Burhanuddin Sampe dimana ia menggantikan pejabat bupati Abdya Nasir Hasan yang menggantikan Baharuddin, S.Sos, MM. Selama hampir tiga tahun itu Aceh Barat Daya sedikit demi sedikit merubah diri, dengan berusaha melepas semua trauma konflik dan bencana tsunami. Dinamika tiga tahun kepemimpinan Akmal Ibrahim, SH dan Ir. Syamsurizal, M.Si yang dipilih melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2007. kurun waktu tiga tahun mereka memimpin Aceh Barat Daya berbagai persoalan muncul dalam pemerintahan daerah Abdya dan belum tampak tanda-tanda kemajuan. Sejak memimpin pertenggahan 2007, diharapkan mampu membawa perubahan yang berarti bagi dimensi social, budaya, ekonomi, hokum dan politik di Aceh Barat Daya. Perjalanan pemerintahan kabupaten Aceh Barat Daya kian terpuruk dan beragam masalah yang sebagiannya teratasi justru semakin besar membesar. Ketidak-transparan kepemimpinan Akmal Ibrahim, SH dan Ir. Syamsurizal, M.Si dalam mengelola manajemen pembangunan di Aceh Barat Daya, terlihat pada bagaimana sulitnya masyarakat memperoleh dokumen anggaran serta informasi pembangunan berkelanjutan.

Disisi lain, realisasi anggaran pembangunan Aceh Barat Daya sejak 2007 hingga akhir 2009 dipastikan sama sekali tidak mencapai target, dan bahkan pelaksanaan program-program pembangunan tersebut dalam aplikasinya di lapangan terindikasi diwarnai dengan praktik-praktik kolusi, korupsi dan Nepotisme (KKN). Para korban konflik yang tak pernah dipedulikan akan hak-hak mereka yang belum terpenuhi serta permasalahan perkebunan rakyat yang dibangga-banggakan sewaktu kampaye dulu ternyata tak sesuai.

Pemerintahan Kabupaten Aceh Barat Daya dibawah kepemimpinan Akmal Ibrahim, SH dan Ir. Syamsurizal, M.Si itu bisa dikatakan gagal memimpi Aceh Barat Daya dengan programnya yang begitu bagus justru tidak berdampak positif menuju pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat Aceh Barat Daya, seperti Acong, Tanam Serentak, Bantuan Santunan Kematian, Perkebunan Rakyat, pengadaan traktor, pembuatan pabrik garam, pertambangan, pembebasan lahan serta yang terbangun adalah konflik horizontal ditenggah-tenggah masyarakat yang memperlihatkan pro kontra justru lebih mengedepankan prinsip-prinsip batasan.

Kepemimpinan Akmal Ibrahim, SH dan Ir. Syamsurizal, M.Si yang tersisa dua tahun lagi kedepan tidak ada perubahan yang berdampak positif bagi masyarakat Aceh Barat Daya, sudah sepatutnya masyarakat Aceh Barat Daya menangih komitmen-komitmen penguasa Aceh Barat Daya sebagaimana yang telah mereka janjikan dalam kampaye Pilkada lalu. Ke depan masyarakat diminta berpikir cerdas untuk memilih pemimpin Aceh Barat Daya bukan pemimpin yang saat ini hanya milik masyarkat tertentu bukan milik seluruh masyarakat Aceh Barat Daya.

inas oos

diambil dari berbagai sumber

Ditulis dalam CATATAN. Leave a Comment »

Tinggalkan komentar